el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Geliat Ibadah Para Pemulung: Intensitas Ibadah di Tengah Kesibukan

Ternyata, pemulung yang lusuh dan dekil itu, masih beribadah layaknya kita yang terbiasa dengan kebersihan. Tak cukup dengan itu, mereka masih menyempatkan menghadiri pengajian untuk mengisi kebutuhan rohani mereka. Bagaimana lika-liku kehidupan mereka dalam mengapresiasikan ibadah dan tantangan pekerjaan mereka?

Tatkala, terik matahari membakar kulit asap mengepul dari sisa sampah yang sudah tidak terpakai, di samping kiri tampak proyek kabel PLN yang menambah riuh suasana, seperti itulah sambutan yang kami dapatkan ketika memasuki lapak pemulung yang letaknya tidak jauh dari Graha Wisata Kuningan, tempat penulis melaksanakan pelatihan pers dan jurnalistik. Beberapa pemuda dengan karungnya, tampak sibuk memilah sampah untuk kemudian akan ditimbang dan dijual kepada ketua lapak. Tidak hanya pemuda, ibu dan bapak yang umurnya sudah tua pun sibuk merapikan plastik atau kertas yang mereka kumpulkan.

Kehidupan di lapak pemulung daerah Mampang Jakarta tidak lepas dari aktivitas ibadah dan pengajian. Contoh Ibu Suryani, sosok pemulung yang bekerja dengan suaminya selama kurang lebih 9 jam per hari, dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore, setara dengan jam kerja orang kantoran. Kebiasaan dia pergi berkeliling daerah Jakarta Selatan untuk mencari sampah kering yang mempunyai nilai jual.

Dengan padatnya jam kerjanya itu, dia belum bisa menunaikan sholat dhuhur dan ashar tepat waktu, karena selain letih baju dan anggota badan dia pun tidak layak untuk menunaikan ibadah sholat. Sehingga dia dan suaminya lebih memilih nengakhirkan sholat mereka hingga sampai ke rumah mereka.

Setelah tiba di rumah, ia istirahat lebih dahulu, dari lamanya ia bekerja . Lalu dia mandi di garasi bus Sinar Jaya dengan membeli air seharga 1000 rupiah per galon. Kemudian baru menunaikan ibadah sholat dhuhur dan asar setelah azan magrib. Tetapi untuk ibadah sholat maghrib dan isya' bisa dilakukan dengan tepat waktu. Suatu bentuk apresiasi beragama yang tidak bisa dianggap remeh.

Sosok Bu Tumira, pemilik sebuah warung makan yang terdapat di lapak tersebut, memaparkan tentang aktivitas mereka di bulan Ramadan. “Banyak para pemulung yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Mereka masih menganggap puasa itu adalah beban yang berat bagi mereka. Jadi tidak heran apabila di bulan Ramadlan ditemukan baik pagi atau siang hari, masih banyak pemulung yang jajan di warung tersebut”. Namun untuk sholat tarawih, mereka masih tetap menjalankannya sebagai konsekuensi seorang muslim. Pernyataan ini diperkuat oleh Bu Qosimah istri dari seorang pemulung yang bernama bapak Sunari. Ia mengatakan bahwa di bulan Ramadlan para pemulung yang tinggal di daerah tersebut bersama-sama menunaikan shalat tarawih di masjid terdekat.

Aktivitas ibadah lain yang tidak kalah, Mas Ahmad (25 th) asal Sampang Madura, memaparkan dalam seminggu ada dua kali pertemuan pengajian yang dihadiri oleh golongan pemuda di situ. Dia juga punya kebiasaan positif lain, seperti membaca Surat Yasin dan Tahlil di malam hari Jum’at.

Ibu Yanti (56) asal Semarang yang bersuamikan perwira TNI-AU, memiliki 3 anak yang dia besarkan di Jakarta. Perhatian dia untuk pendidikan agama anaknya tergolong diacungi jempol. Dia mengikutkan anaknya untuk belajar mengaji di TPA ULUMUL QURAN, yang tak jauh dari pemukiman itu. Dengan SPP Rp 7000 per bulan, mulai dari SD-SMP. Kehadiran sosok Kak Nunung sebagai pengajar tunggal di TPA itu, adalah bentuk perhatian terhadap cara beragama yang sangat mendalam.

Pengajaran tartil untuk anak kecil dan Al-Quran untuk ibu-ibu menjadi sebuah pertanda kehidupan aktivitas beragama dan intensitas beribadah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pengajian lebih banyak diajarkan di kalangan anak Jawa, Sunda, Betawi dan Madura.

Berbeda dengan ibu Inah (45 th) pendatang dari Kebumen Jawa Jengah yang mengaku datang ke Jakarta untuk mengadu nasib, dikarenakan desakan ekonomi keluarganya. Ia memaparkan pendapatnya bahwa ia belum siap benar untuk melaksanakan ibadah secara baik dengan alasan tidak adanya waktu, karena sibuk mencari uang. Sedangkan untuk shalat lima waktu, Bu Inah menjalaninya jika pekerjaannya tidak banyak. "Kalau saya sibuk banyak shalat yang saya tinggalkan, paling shalat Subuh dan Ashar, karena waktu itu yang luang buat saya" papar Bu Inah . Ia hanya takut jika harus kembali seperti saat pertama kalinya menginjakan kakinya di Jakarta, karena perlu pengorbanan yang sangat besar, untuk dapat hidup sebagai pedagang di kawasan lapak pemulung saat ini.

Penulis: Ahmad Sirojuddin


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.