Berbasis Bisnis, Berbasis Berita
Cukup menakjubkan apabila Media Indonesia sebagai salah satu harian nasional mampu membuka Stasiun TV berbasis berita yang pertama dan paling bergengsi di Indonesia. Bagaimana Metro TV dan Media Indonesia bertahan di persaingan media massa yang semakin gencar menayangkan hiburan sebagai produk utama mereka?
Media massa merupakan sebuah bisnis menarik di era globlasasi ini. Seiring dengan terbukanya pintu gerbang jurnalistik lewat UU Pers tahun 1999, di era pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Media massa tumbuh layaknya jamur di negeri ini. Ada sekitar 2000 Media cetak yang tumbuh dan bertahan hingga saat ini. Sebuah perubahan yang sangat dahsyat, setelah sebelumnya hanya bertahan 400 media cetak saja yang bertahan di era Orde Baru.
Orde Baru adalah sebuah preseden buruk bagi dunia jurnalistik. Koran, majalah, hingga tabloid banyak dibredel gara-gara terlalu vokal memberitakan pemerintah sebagai penguasa tunggal saat itu.
PRIORITAS, sebagai contoh, merupakan sebuah majalah bulanan yang terbit di Jakarta. Saat itu Djakfar Segaf merupakan salah seorang wartawan senior yang bekerja di majalah itu. Banyak rekan seangkatannya telah meninggal menghadap Sang Kuasa. Hanya beliau yang bertahan sampai saat ini, sebagai wartawan perjuangan yang berusaha bangkit kembali di dunia media pers.
Umurnya yang mencapai 73 tahun tidak mengganggu aktivitas beliau untuk selalu berkarya di dunia pers. Beliau masih bolak balik Jakarta-Lampung untuk melakukan sebuah laporan eksklusif di Media Indonesia. Dari raut wajahnya tidak terlukis raut ketuaan itu. Kalau ini terjadi pada orang lain, mungkin sudah memasuki masa uzur untuk melakukan aktivitas sepadat beliau.
Semangat survival dalam diri beliau tergolong tinggi, terbukti beliau melakukan eksodus dengan beberapa wartawan lain untuk membesarkan Media Indonesia. Sekarang beliau sebagai sesepuh di Media Indonesia, bersama rekan-rekan beliau membesarkan Metro TV dengan membentuk MNN (Media News Network). Artinya dari kedua instansi telah menemukan sebuah mainstream untuk bekerja secara sinergis dalam meliput berita. Sebuah terobosan baru dalam dunia bisnis berbasis berita.
Adjad Sudrajat seorang Deputi Direktur di Media Indonesia, menuturkan cerita itu dengan sisi historis yang detail dan tajam di depan peserta Pelatihan Jurnalistik Pesantren. Dia juga selalu mengingat ucapan Surya Paloh (Pemimpin Perusahaan) bahwa, ”Perubahan itulah yang Abadi”. Pernyataan ini menepis keraguan berbagai pihak bahwa TV berita tidak layak bagi masyarakat Indonesia. Realitasnya masyarakat cenderung menyukai hiburan daripada berita itu sendiri. Makanya Metro TV hadir berbeda, dengan sajian berita yang berbeda melebihi terobosan-terobosan yang dialami TV swasta yang lain, semisal SCTV.
Metro TV dan Media Indonesia mempunyai jaringan berita yang cukup kuat. Cukup pantas untuk mendirikan sebuah kantor berita. Kenyataan itu dibuktikan dengan kehadiran berita-berita dari Radar daerah, yang telah diadopsi oleh Jawa Pos. Sebelum Jawa Pos memulai koran-koran daerah itu, Media Indonesia telah memulainya. Sayang di antara sekian banyak cabang-cabang berita daerah itu harus gulung tikar. Hanya tersisa Lampung Pos saja, yang mampu bertahan sampai saat ini.
Namun Media Indonesia sebagai media yang lebih berpengalaman itu, mampu menyajikan berita secara visual lewat Metro TV. Kemungkinan orang akan bosan akan sajian-sajian hiburan yang hedonis dan berpindah pada Metro TV yang lebih realistis. Itu mungkin yang dimaksudkan Surya Paloh sebagai perubahan-perubahan yang lebih abadi. Kenyataan itu terbukti dengan berjalannya tiga unsur (Pemimpin Redaksi, Pemimpin Perusahaan/Percetakan, Pemimpin Iklan). Media Indonesia dan Metro TV telah memiliki karyawan yang sangat banyak. Media Indonesia memiliki hampir 150 karyawan, berbeda dengan Metro TV yang telah mencapai 450 karyawan. Sebuah prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan berbekal pada eksistensi pengelola untuk menjaga kredibilitas instansi, agar selalu dipercaya publik. Karena kepercayaan publik adalah segala-galanya dan itu yang abadi.