el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Katakan tidak untuk Hermeneutika!

Setelah meluluhlantakkan negara Afganistan dan Irak, Indonesia merupakan salah satu negara Islam yang diincar Amerika, dengan misi agar mengotori aqidah-aqidah umat Islam.

Di antara jalan utama adalah jalur pendidikan, dengan mengubah kurikulum pendidikan Islam ke arah sekuler dan pluralisme agama (menyamakan semua agama), walaupun hasilnya sudah sangat merusak Islam. Namun Amerika masih belum puas, mereka masih mengintervensi pendidikan Islam di Indonesia, hingga sebagaian pesantren-pesantren pun dikucuri dana sebesar $157.000.000 untuk mengubah kurikulumnya.

Sepak terjang program utamanya memasukkan paham pluralisme di kaum Muslimin, lebih-lebih di sebagian kampus UIN, IAIN, STAIN dan STAIS yang telah menjadi bidikan kaum pluralis.

Paket-paket yang telah disiapkan oleh mereka adalah pengajaran hermeneutika. Pada dasarnya hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikiran Kristen di negara Barat menjadi metode interprestasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan metode ini diadopsi dan dikembangkan untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Al-Qur'an yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Jika metode atau cara pemahaman Al-Qur'an sudah mengikuti kaum Yahudi-Nasrani dalam pemahaman Bible maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslimin di Indonesia?

Ta'rif historis

Hermeneutika adalah metode penafsiran yang menitikberatkan pada rasio yang diadopsi dari tradisi Yahudi. Hermeneutika adalah hasil derivasi (berasal) Yunani, yang berarti menafsirkan. Kata ini pertama kalinya digunakan oleh seorang dewa bernama Hermer anak dari Zeus dan Maia, dia bertugas sebagai penafsir teks-teks dari langit (yang masih menggunakan bahasa langit), kemudian dia terjemahkan ke bahasa makhluk.

Dari makna bahasa, Hermeneutika mengalami perubahan cepat ke makna bahasa dan filsafat. Sehingga diadopsi oleh Yahudi-Nasrani dalam menafsirkan teks-teks Bible. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah terjadi kerancuan di dalamnya. Sehingga klimaksnya adalah pecahnya Nasrani menjadi dua golongan, yaitu Protestan dan Katolik.

Pihak Protestan memakai hermeneutikal literal (hakiki-secara harfiah) dan pihak Katolik yang cenderung memakai hermeneutika algoris (majazi/kiasan). Kemudian di tengah-tengah perseteruan dua kubu kristen tersebut datanglah pihak sekuler yang mentransformasikan (memasukkan) metode itu dalam kedua ajaran tersebut. Hingga akhirnya keduanya tunduk pada hermeneutika falsafi Barat yang sebenarnya anti agama alias sekuler.

Dari gambaran historis kasus di atas, terjadi pemutlakan nama filsafat hermeneutika. Hingga akhirnya dimanfaatkan oleh orientalis untuk melakukan penetrasi ajaran pada aqidah dan agama kita (Islam). Hingga yang terjadi adalah penafsiran al-Quran, hadits, secara serampangan alias ngawur. Bahkan berupaya memberikan pengkaburan pada ajaran-ajaran fiqh kita. Sehingga hal itu terkesan wajar dan masuk akal, tanpa melakukan peninjauan yang lebih selektif. Padahal selama ini ajaran aqidah dan fiqh salafi selalu kita kaji dan kita pertahankan keberadaannya.

Kasus yang terjadi belakangan adalah dimasukkannya mata kuliah Tafsir Hermeneutika pada beberapa perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Beberapa perguruan tinggi lain telah melakukan penjajakan untuk memberlakukan mata kuliah Tafsir Hermeneutika sebagai mata kuliah wajib. Ini suatu kemunduran yang luar biasa dalam perspektif salaf. Hingga suatu saat hal ini dapat mendegradasi keimanan kita, naudzubillah min dzalik.

Tokoh pengusung paham itu adalah Dr. Nasr Zaid Abu Zayd dari Mesir yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir pada tahun 1996. Kemudian Muhammad Arkoun yang terkenal bukunya Rethinking Islam dan Dekronstruksi Syariah dari Afrika Utara dan sekarang sebagai guru besar mata kuliah Islam di Universitas Sorbonne, Paris, dan Fazlur Rahman dari Pakistan yang hengkang ke Chicago Amerika (guru besar Alm. Nurkholis Madjid).

Sedangkan pengagum teori tersebut di Indonesia adalah Amin Abdullah, Ulil Abshar Abdalla beserta JILnya, Muhyiddin Abdusshamad (tetapi beliau "bertaubat "dengan hadirnya buku beliau Menuju Fiqh Tradisionalis) dan para praktisi pendidikan di beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Sehingga kita tidak sadar bahwa pergerakan mereka sangat cepat melebihi tumbuhnya jamur di lahan yang lembab.

Detail Penyimpangan Mereka

Dengan menjamurnya kajian-kajian yang keluar dari koridor Istimbath hukum yang salafi mengakibatkan beberapa pengaburan dogmatis pada ajaran fiqh, mengharuskan kita untuk selalu waspada pada segala gerak tingkah laku mereka.

Berbagai seminar diselenggarakan di lingkungan mahasiswa yang haus akan geliat pergeseran hukum Islam. Hingga tanpa sadar daya keilmiahan mereka harus diracuni oleh keilmuan yang mereka pelajari. Beberapa contoh pergeseran hukum tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Dalam buku Fiqh Lintas Agama, terbitan Yayasan Paramadina, Jakarta, 2003 (tulisan sembilan orang pakar ahli Paramadina, yang didanai oleh The Asian Foundation--yayasan orang kafir, yang merupakan wakaf dari Yahudi di Amerika). Berisi gugatan terhadap hukum-hukum Islam, bahkan malah menyentuh aqidah/tauhid Islam yang dimaknai menjadi kemusrikan artinya dalam ayat inna ad-Diina Indaallahi Islam diganti dengan diinun hanifiyyah (agama yang moderat dan plural) dan pernyataan mereka bahwa semua agama akan masuk surga. Itulah garis besar pergeseran hukum yang dilakukan sampai pada akidah.
  2. Dalam masalah fiqh, Counter Legal Draft (kompilasi hukum Hukum Islam) oleh tim kesetaraan gender, pimpinan DR. Siti Musdah Mulia yang dilakukan bersama timnya, yang berjumlah 11 orang plus 16 orang kontributor. Mereka menyuarakan pembatasan syariat Islam. Fokus permasalahan di dalamnya yaitu:

    1. melarang poligami, tapi membolehkan nikah beda agama yang dipromosikan dengan terlaksanakannya pernikahan putri (Alm.) Nurcholis Madjid dengan seorang Yahudi dan kawin kontrak,
    2. mahar bisa dilakukan dari pihak istri, dan kesetaraan hukum waris antara laki-laki dan perempuan,
    3. nikah bukan ibadah, dan istri mendapat hak cerai sekaligus hak rujuk.

    Ketiga hal di atas oleh Prof. Ali Mustafa Yaqub (Komisi Fatwa MUI) disebut sebagai hukum iblis.

  3. Disamping itu, yang paling menyakitkan umat Islam, adalah ungkapan dari pendiri Yayasan Wakaf Paramadina sekaligus Rektor Universitas Paramadina Jakarta. Suatu waktu dia berdiri di hadapan para praktisi pendidikan di beberapa Universitas terkenal di Eropa pada bulan Ramadhan 2002, ia menyampaikan bahwa,

    "Islam adalah agama hibrida (cangkokan)."

    Pidatonya itu pun dimuat di situs JIL (Jaringan Islam Liberal), http://www.islamlib.com.

    Di lain waktu (pada 23 Januari 1987) di pengajian Paramadina yang ia pimpin, saat itu ada satu pertanyaan dari peserta, (Lukman Hakim namanya) menyampaikan pertanyaan yang berbunyi:

    "Salahkah iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Nabi Adam A.S, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh dilakukan kepada Allah?"

    Lalu dia menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi dari salah satu majalah di Damaskus, Syiria bahwa,

    "Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali pada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni."

Penyelewengan hukum lain yang terjadi adalah seorang kafir mewarisi seorang muslim dan sebaliknya, bolehnya kawin campur antar umat beragama sama rata dalam pembagian warisan baik laki maupun perempuan, kita ambil contoh ringan tentang sama rata dalam warisan padahal telah gamblang dijelaskan secara terperinci langsung oleh Allah Taala dalam surat Annisa ayat 11 dan Ayatul kalalah (Annisa ayat 176), tapi kaum mazhab Hermeutika menganggap Al-quran adalah _muntaj tsaqofi_ (produk budaya) yang suatu saat dapat diubah sesuai dengan semangat beragama yang pluralis saat ini dan apakah mereka tidak takut melanggar hukum-hukum Allah pada bagian ayatul waris (Annisa: 14) disinyalir 44c975015ecfde414143ad2fa6793daa

"Dan barang siapa bemaksiat kepada Allah dan Rasulnya dan melanggar batasan -batasan Allah, Allah masukan dia ke neraka selama-lamanya di dalamnya dan baginya siksaan yang pedih".

Dapat kita telaah secara rasional bahwa metode Hermeutika tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Alquran. Karena sebelumnya Nashrani menerapkan metode ini pada bible, hasilnya Kristen terpecah menjadi dua bagian Protestan dan Katolik. Apalagi di terapkan pada Alquran? Maka akan terjadi kerancuan dan kekaburan pada makna ayat-ayat Alquran yang Muhkamat menjadi Mutasyabih, yang qodly menjadi dhonny, dhohir menjadi ta'wil, yang tsawabit menjadi mutaghoyyarot, ushul menjadi furu, mutawatir menjadi ahad, dan mafhum menjadi majhul. Maka dari sini tidak dapat diambil kekuatan hukum dari Alquran karena filsafat Hermanautik sangat brutal dalam mengkaji teks dan tidak memuat pengecualian terhadap hal-hal aksiomatik (yang jelas kebenarannya) di atas, hal ini bertolak belakang dengan pedoman dasar interplasi Alquran yang menetapkan dan menjadikan hukum ayat-ayat muhkamat qhotiy, mafhum, dhohir, mutawatir serta menyerahkan ayat-ayat mutasyabih pada Allah ta'ala, dan penafsiran dengan rasio juga yang harus berpedoman pada nukilan yang berasal dari Hadits-hadits Rasululah dengan antisipasi maudhu dan dhoif.

Dengan cara mengadopsi pendapat para sahabat (dalam kajian tafsir) karena pendapat mereka dihukumi marfu serta menggambil makna arti bahasa arab, karena Alquran berasal dan turun dengan lisan orang arab serta meninggalkan apapun yang tidak terkandung dalam bahasa arab dan mengambil apa yang sesuai menurut pembicaran dialek arab, dengan didukung oleh undang-undang syara'. Sebagaimana Rasulullah mendoakan Ibn Abbas:

اللهم فقهه في الدين وعلّمه التأويل

Secara historis sahabat Ibnu Abbas adalah orang arab akan tetapi mengapa Rasulullah masih berharap pada peran seorang Shahabat Ibnu Abbas? Di sinilah hikmah terbesar yang dapat kita ambil. Setelah wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam diharapkan waktu itu sebagai tongkat estafet terbukanya makna-makna al-Quran, beserta sahabat lain yang sama keahliannya. Hal ini sebagaimana diterangkan Imam As-suyuthi dalam Itqon.

Tapi dengan berkembangnya zaman Hermeneutika juga berkembang dan bercabang-cabang sesuai dengan pembawanya seperti hermeneutika befti, hermeneutika gadener dan lain-lain. Bahkan dari Hermeneutika filsafat meluas kepada Hermeneutika teologis yang mempersoalkan sampai akhir ayat-ayat dhahir dari Alquran dan menganggapnya sebagai problematika. Selain itu juga meragukan mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka dapat disimpulkan bahwa metode Hermeneutika tidak dapat diterapkan untuk menafsirkan teks ayat Alquran secara mutlak karena berbeda metodenya dan bisa dianggap metode ini tidak dapat membuahkan hasil akurat. Karena menimbulkan perseteruan dan perpecahan agama. Selain itu Hermeneutika adalah hasil adopsi barat dari Yunani dan para pembawanya adalah Yahudi dan Nashrani yang keduanya tak akan pernah membiarkan Muslimin tenang sampai ikut ke agama mereka. Maka bagaimana dengan para pemikir Islam yang ikut-ikutan mengembangkan Hermeneutika pada Alquran? Apakah mereka tidak merasa turut serta menghancurkan Islam? Padahal seorang muslim haruslah mempunyai kecemburuan agama (ghiroh) yang tinggi apabila agamanya terintervensi pihak lain. Wallahu khoirul hafidzin, wansurna ala qoumi ad-dholimin, Amin.

Penulis: Abdul Adhim Surabaya, M. Zaini Bogor dkk Mahasiswa STAI Dalwa


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.