Pola Generalisasi Bid’ah senjata para extremist
Mereka (kaum extremist) memproklamirkan diri sebagai gerakan pemurnian Islam, acapkali menyalahkan muslimin karena membagi bid'ah menjadi dua macam. Alasannya nabi sendiri tidak membaginya menjadi dua. Argumen ulama kita mengatakan bahwa nabi juga tidak membagi bid'ah menjadi bid'ah diniyyah dan dunyawiyyah seperti yang mereka katakan
Kullu bid'atin dholalah, sebuah frase dari hadis nabi yang disalahartikan oleh sebuah gerakan baru lalu melahirkan berbagai penafsiran di masyarakat. Lambat laun gerakan ini menjelma menjadi cloning ideologi yang mengkritisi tradisi salaf . Tidak sedikit terjadi perselisihan tajam pada pemahaman kaum muslimin.
Di antara propaganda yang dilemparkan gerakan baru ini adalah sebuah claim pengikut salaf. Sebagai penggerak claim, gerakan ini sering menjustifikasi amaliyah keseharian muslimin sebagai sebuah bid'ah yang sesat. Syariat Islam sendiri mengharuskan kita mengklasifikasikan bid'ah yang baik dan bid'ah yang buruk.
Masalah bid'ah memang telah lama menjadi perdebatan di kalangan internal umat Islam. Bahkan acapkali berujung konflik, terutama pada lapisan grass root. Untuk menjernihkan masalah ini kita harus memulainya dari akarnya yaitu hadis yang menjadi landasan ideologi mereka. Jika kita sudah mengkajinya lebih dalam kita akan mengerti apa yang dimaksud bid'ah pada hadis tersebut.
Klasifikasi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah merupakan pendapat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang diakui sebagai pakar Qur'an dan hadis dari pendahulu umat ini. Mereka seperti al-‘Izz bin Abdissalam, Nawawi, Suyuthi, Mahalli dan Ibnu Hajar.
Hadis-hadis Nabi saling menjelaskan dan berkaitan satu sama lain, sehingga kita harus melihat kesemuanya sebagai satu keseluruhan. Lebih lanjut mengarahkannya sesuai dengan aturan dan metode yang telah ditetapkan dan disepakati oleh ulama. Tidak boleh kita mengambil mentah-mentah makna satu hadis, tanpa mempelajari keseluruhan hadis lainnya yang masih berkaitan. Sebelum diambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut.
Karena itulah kita menemukan banyak hadis yang penafsirannya membutuhkan kajian dan telaah lebih lanjut dari pakarnya dengan mengacu kepada standar yang telah diakui dan ditetapkan. Merumuskan syari'ah hanya boleh dilakukan para expert setelah melakukan analisa mendalam dengan memperhatikan dinamika sosial masyarakat dan mengarahkan hadis Nabi sesuai dengan metode yang telah dikembangkan para ulama.
Termasuk kategori hadis di atas adalah sabda nabi "orang yang memiliki rasa sombong sedikitpun di hatinya tidak akan masuk surga". Rasulullah bersabda di lain kesempatan "orang yang masih memiliki iman sedikitpun dalam hatinya akan masuk surga". Dhohir dua hadis ini tidak saling mendukung dan kontradiktif.
Kedua hadis di atas sepertinya memang bertentangan atau paradoks dan malah menimbulkan kebingungan jika dicerna mentah-mentah. Di situlah dibutuhkan kejelian dan studi kritis untuk mengarahkan dan menafsirkan sebuah hadis dan itu hanya bisa dilakukan oleh pakar hadis yang mengenal dan menghafal banyak hadis. Sehingga tidak terjadi disinterpretasi atau kesalahpahaman.
Maksud hadis pertama adalah orang yang memiliki rasa sombong dalam hatinya tidak akan termasuk golongan mereka yang pertama-tama masuk surga, artinya mereka bisa masuk surga tapi bukan yang pertama-tama memasukinya. Sedangkan hadis kedua berarti mereka yang masih memiliki iman sedikitpun dalam hatinya maka ia akan masuk surga meski mungkin saja itu terjadi setelah melewati tahapan siksa neraka untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia.
Begitu pula hadis nabi "semua bid'ah adalah sesat". Secara eksplisit hadis ini memang berarti semua bid'ah adalah sesat, tetapi sesuai dengan kaidah yang telah dirumuskan, tidak semua orang bisa menerapkan hadis nabi secara praktis lalu serta merta mengeneralisasi hadis diatas untuk semua "hal baru". Bukan kapasitas kita mencomot langsung sebuah hadis untuk istinbath hukum langsung dari hadis tersebut. Perlu dilakukan telaah secara komprehensif karena masih banyak hadis-hadis lain yang berkaitan, kemudian diaselerasikan maknanya secara sinergis.
Jika menilik redaksi hadis bid'ah yang bersifat umum, lalu melihat perilaku para sahabat sebagai generasi terdekat dengan Nabi, tentunya memahami hadis Nabi dari sudut kontekstual. Bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud bid'ah pada hadis tersebut adalah bid'ah sayyi'ah. Artinya menyalahi norma syari'ah yang telah berlaku bukan semua hal baru hasil kreasi atau ijtihad para ulama yang mewarnai praktek ibadah. dan bernilai positif tanpa menodai misi utama beribadah.
Para sahabat nabi tidak menutup pintu untuk hal-hal positif yang belum pernah terjadi di zaman Nabi saw. seperti kondifikasi al-Qur'an yang terjadi pada era khalifah Utsman.Toh itu juga berangkat dari hadis nabi yang lain. Nabi bersabda yang kesimpulannya "barang siapa yang menjadi pelopor bagi tradisi yang bagus maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala mereka yang mengamalkannya hingga hari kiamat".
* oleh Hb. Ali Zainal Abidin bin Hasan Baharun