el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Nasionalisme di Tengah Pandemik Ideologi Impor

Indonesia setelah memasuki tahun ke 10 periode reformasi, semakin banyak perubahan-perubahan dalam memandang pluralisme beragama, berbangsa dan bernegara. Kesekian kali terjadi amendemen UUD 45, sehingga kita sebagai warga Negara sendiri kadang takut terjadi pergeseran-pergeseran mendasar pada UUD 45 yang bersinergis dengan dasar Negara kita Pancasila.

Apa parameter perlunya amandemen itu? Yang terjadi kemarin adalah interpretasi rezim Orba terhadap pelaksanaan UUD 45 yang cenderung sempit dan diktaktor. Sehingga para reformis menambahkan beberapa sub pasal-pasal yang saat itu menjadi dasar rezim orba untuk mengekang kebebasan berfikir dan bertindak dalam berorganisasi.

Bergulirnya reformasi juga ditandai dengan tumbuhnya beberapa lembaga independen non govermen yang mencermati jalannya kebijakan pemerintah dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 45. Disamping itu juga muncul lembaga Negara seperti KPU, Komnasham, KPK dan Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lembaga itu mempunyai tugas untuk mengontrol elemen-elemen bangsa dalam menjalankan tugas sebagai warga Negara Indonesia yang tunduk pada hukum di Indonesia.

Berjalannya reformasi juga tidak hanya menjadi regulasi munculnya reformasi hukum dan ekonomi saja, melainkan juga diikuti oleh reformasi politik yang dahsyat. Disamping itu juga terjadi beberapa  ekspansi-ekspansi gelombang politik internasional, baik itu dari barat dan dari timur tengah. Tak pelak faham liberalisme dan fundamentalisme bergulir bersama dalam pertumbuhan reformasi di Indonesia. Keduanya bertarung untuk merebut simpatisan masyarakat kita yang benar-benar haus akan perubahan dari kondisi stagnan  yang pernah disajikan oleh rezim orde baru.

Ekspansi gelombang aliran liberalis dan fundamentalis berkembang luas dalam pemikiran  masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Banyak dari perguruan tinggi di Indonesia yang mengadopsi beberapa kurikulum barat lewat studi-studi Islam yang telah dipelajari oleh sarjana barat. Disisi lain dunia pergerakan mahasiswa juga terjadi penetrasi ideologi trans nasional yang ujung-ujung adalah kelompok fundamental. Dampaknya kita melihat adanya pemunculan kembali wacana piagam Jakarta sebagai sebuah lintasan sejarah dibentuknya pancasila yang pernah menggunakan redaksi "wajib menjalankan syariat bagi pemeluk agama Islam". Keduanya mendapat sambutan baik oleh masyarakat kita sebagai wacana khas reformasi, meninggalkan nuansa stagnan dan diktaktor yang pernah disajikan rezim orde baru.

Ketika liberalisme merebak ke daerah jantung pemahaman agama, terlihat sudah beberapa pemahaman teks-teks al-Quran dan hadits yang disajikan kaum liberalis, dimampatkan dalam sebuah kerangka pikiran rasio manusia.  Akhirnya terjadilah pergulatan pikiran (gazwah al-fikr) dalam tubuh sunni (Nahdlatul Ulama), menendang kemapanan-kemapanan fikih yang dinilai terlalu ortodoks dan tidak peka zaman. Banyak wacana-wacana fikih yang diekstrak lagi dengan kerangka liberal, sehingga menghasilkan gagasan baru dalam fikih islam itu sendiri. Kemudian munculah wacana fiqh tranformatif, fikih emansipatoris, yang tidak pernah tersentuh oleh kalangan kyai-kyai desa. Mereka menganggap pikiran kyai itu kuno dan tidak sejalan dengan unversalisme yang terkandung dalam semangat Islam (rahmatal lil alamin).

Sedangkan dalam penetrasi kaum fundamental yang kebetulan berasal dari timur tengah tidak hanya dalam satu serangan, mereka membagi tugas dalam beberapa organisasi yang lebih detail arah sasarannya. Di bidang pergerakan mahasiswa, ada hizbut tahrir mereka bergerak dengan menggunakan fashion sebagai "brand product" golongan mereka. Dengan model busana muslim yang khas, beberapa dari mereka juga menggunakan hijap (cadar) yang khas. Melalui rekrutmen anggota lewat seminar-seminar kebangsaan  dan tema-tema up to date, mereka menawarkan konsep-konsep khilafah (kepemimpinan Islam) lewat penegakan syariah (sebagai lips servicenya). Penetrasi ideologi ini berjalan mulus untuk menstimulus pikiran anggotanya, guna menjegal ideologi Pancasila dengan konsep Khilafah yang diusungnya.

Di bidang politik, mereka menggunakan  mekanisme partai yang dikenal paling santun, paling bersih dari KKN. Tak pelak pemilu kemarin "PKS" mampu mendongkrak suara nasionalnya menjadi 9 %. Sebuah prestasi yang luar biasa dalam 2 kali pemilu di Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera dalam tingkat grass root memberikan tawaran-tawaran pada "muslim yang berpandangan luas" untuk bergabung dengan mereka guna menggolkan wacana syariah Islamiyah yang berujung pada Daulah Islamiyah.

Hal ini identik dengan Jemaah Islamiyah, sebagai satu organisasi yang bergerak dibidang ketentaraan, mereka dengan "langkah nyata" mengirim beberapa anggotanya untuk berjihad di beberapa Negara konflik di timur tengah.  Sepulangnya di tanah air, mereka mengkader anggotanya untuk menerapkan metode jihad dengan membombardir  beberapa tempat yang sering dikunjungi warga asing. Bom Bali I & II, JW Marriot I & II, dan lain-lain, adalah serangkaian tindakan jihad yang real bagi Jemaah Islamiyah. Ujung-ujungnya mereka juga sedang mengujicobakan konsep ketentaraan yang disiapkan untuk tujuan Daulah Islamiyah di Indonesia.

Secara tidak sadar, kedua arus ini telah melakukan infiltrasi ideologi baru dan menjegal kemapanan ideologi Pancasila yang sudah berakar kuat di sanubari masyarakat Indonesia. Sebagai warga Negara Indonesia, kita harus sadar dan waspada terhadap  pemaksaan ideologi liberalis yang menghancurkan sendi-sendi agama dan penikaman terhadap Pancasila sebagai satu-satunya dasar Negara yang sah secara de jure dan de facto.

Kalau kita sadar, kekayaan Indonesia adalah bertumpunya keanekaragaman agama, budaya dan suku pada Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila mampu mengayomi perbedaan yang terjadi di nusantara tercinta ini. Kalau ada ideologi yang lebih bagus dari Pancasila, maka para pendiri bangsa dahulu tidak akan memilih Pancasila sebagai sebuah ideologi final di saat itu, saat ini dan saat yang akan datang.

Beberapa ideologi impor ini pada saatnya akan meledakkan nasionalisme yang selama ini kita bangun  dengan susah payah. Apakah tidak sebaiknya kita mendesain ulang kerangka pemikiran kita untuk mengatakan Pancasila sebagai ideologi yang final? Sesudah kita merasakan pahit getirnya "empedu ideologi impor" yang telah meledak di era kemerdekaan dulu. Namun sadarkan kawan-kawan kita yang telah menelan mentah-mentah empedu ideologi impor itu?

Jika saja wacana-wacana seperti ini jarang dipublikasikan, maka yang terjadi kemudian adalah ancaman disintegrasi bangsa. Dimana masyarakat kita akan saling mengklaim kebenaran atas egoisme mereka sendiri bukan berpijak pada ideologi Pancasila. Atau paling tidak ada upaya pengayaan kembali terhadap wacana-wacana mainstream ideologi yang sedikit banyak menggeser kita akan semangat Nasionalisme dan pemahaman akal sehat kita yang mendalam terhadap ideologi Pancasila, serta kerangka NKRI yang sudah sekian tahun terbukti diterima masyarakat kita yang majemuk dan plural.

Sebagai warga Negara kita seharusnya ada sebuah upaya untuk bangkit dari keterpurukan kita terhadap pemahaman ideologi Pancasila itu. Lewat langkah ini kita bisa mengkaji ulang kekayaan nilai-nilai Pancasila dengan tidak menoleh lagi terhadap tawaran-tawaran asing yang selama ini menjajakan idiologi-ideologi murahan mereka. Atau ada upaya yang lebih ekstrim, perlu dibentuk UU anti subversif lagi untuk meminimalisir upaya-upaya gerilya asing dalam usaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi murahan. Memang dalam rangka mendesain kembali UU tersebut harus tidak boleh mengkebiri kreatifitas, ide, kebebasan berekspresi yang membangun, senyampang itu bermanfaat untuk memperkaya pemahaman kita kepada ideologi Pancasila yang luhur dan sakti ini.

Sebenarnya kita sendiri, mulai sekarang harus sering menggunakan anugerah "sense of intelegence" kita yang telah diberikan Allah pada kita.  Artinya menelaah kembali mana yang bisa diterima oleh ideologi Pancasila dan NKRI, dan membuang jauh-jauh wacana ideologi yang sesat dan meracuni ideologi Pancasila itu sendiri. Atau kalau tidak, ada gelombang chaos yang kemudian menyebabkan disintegrasi bangsa.

Sebagai penutup tulisan ini, alkisah suatu saat Presiden Sukarno di tengah krisis ekonomi saat itu, dan ancanan disintegrasi dengan bergejolaknya papua barat yang menginginkan kemerdekaan, mencoba berdiskusi dengan salah seorang Kyai yaitu KH. Wahab Hasbullah (Jombang). Beliau menanyakan status hukumnya kependudukan Belanda di Papua.

Kemudian K.H. Wahab Hasbullah menjawab, "Kependudukan Belanda menurut kacamata fiqh yang saya baca (kitab Fathul Qorib) adalah ghasab (istilah untuk memakai tanpa izin pemilik) dan itu adalah haram."

Presiden Sukarno menanyakan lagi, "Berarti wajib diperangi Kyai?"

K.H. Wahab Hasbullah menjawab, "Wajib."

Dari kisah ini sang Kyai dan sang Presiden adalah dua komponen bangsa yang sama-sama menggali keanekaragaman ide, pendapat untuk keselamatan NKRI. Wacana fiqh tetap up to date untuk wacana bangsa sekalipun, tanpa harus mengganti ideologi Pancasila menjadi Daulah Islamiyah. Implementasi ranah fiqh bisa dibawa ke dalam wacana kebangsaan, dan itu adalah sebagian kecil pengayaan terhadap nilai-nilai nasionalisme yang bersumber pada koridor ideologi bangsa kita yaitu Pancasila. Dunia pesantren sendiri telah menjadikan bahtsu masail sebagai motor penggerak pemahaman kebangsaan dalam ranah fiqh, dan itu bisa digali terus menerus tanpa harus mengimpor idiologi di luar kekayaan bangsa dan Negara kita sendiri.

Tema: Nasionalisme di Mata Saya
Judul: Nasionalisme di Tengah Pandemik Idiologi Impor
Penulis: Ahmad Sirojuddin, mahasiswa semester 5 jurusan Ahwal Syakhsiyah, STAI Darullughah Wadda'wah.
E-mail/ponsel: ciro_dalwa@yahoo.com/ 088803820481


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.