el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Nyala Api Dzikir dalam Samudera Tauhid

Sebuah peradaban maju kerap kali, membawa dampak negatif dalam pribadi seseorang, lebih-lebih lingkungan dan peradaban manusia itu sendiri.

Manusia sering kali terjebak dalam sebuah arus praktisisme. Artinya banyak diantara orang melihat sesuatu yang praktis itu adalah sebuah keharusan. Hingga klimaksnya orang-orang bisa melupakan suatu yang sakral sekalipun.

Semisal sholat dalam kesehariannya bisa 5 kali kita lakukan. Kalau hal ini saja bisa mereka tinggalkan, maka mereka kehilangan sebuah permata kehidupan, yang seharusnya mereka pertahankan. Karena parameter seorang muslim adalah sholat itu sendiri. Sedangkan khusuk itu adalah ruh ibadah itu, sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Ghazali pada setiap rukun sholat.

Bagaimana seorang muslim mampu mengaplikasikan "ruh ibadah" itu ? maka ada banyak variabel yang bisa mendukung untuk terjadinya prosesi khusuk. Pertama seorang muslim haruslah beriman kepada Allah dan RasulNya. Mengimani semua rukun iman, selain yang tersebut diatas. Kemudian masing-masing muslim haruslah belajar agama dan minimal menerapkan apa yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebenarnya ruh adalah sebuah hal abstrak yang berkaitan langsung dengan manusia dan bersandar pada qudratillah. Maka Allah dalam telah memproklamirkan didalam Al-Quran: "kullirruhu min amri robbi", ruh itu adalah urusan Allah. Maka hal inilah yang harus difahami oleh umat, ketika ruh yang melekat pada diri kita tertutupi oleh kepentingan-kepentingan jasad (syahwat,sandang, pangan).

Ruh itu diklaim sebagai makhluk yang mentaati perintah Allah. Karena di alam ruh, masing-masing kita telah mengenal satu sama lain. Tentunya di alam ruh, kita sangat dekat dengan Allah. Sampai predikat kita saat itu adalah ma'rifatullah. Karena komposisi kita saat itu, ruh saja, tanpa ada kehadiran jasad, akal, serta hawa nafsu.

Al-Imam Shekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya Al-Ghunyah mengklasifikasikan beberapa penghuni jasad manusia. Artinya dalam diri manusia ada beberapa khotir/pembisik yang menghuni dan berpeluang mempengaruhi tingkah laku manusia. Atau dalam gambaran sketsa hati itu terbungkus dengan beberapa lintasan hati. Sehingga nur robbany selalu terhalangi dengan beberapa lintasan yang tidak sinergis (sejenis). Ada beberapa macam tipe khotir telah diklarifikasi oleh beliau, antara lain khotirulyaqin(bisikan dari Allah), khotir ruh(bisikan Ruh),khotirul muluk(bisikan Malaikat), khotirul aql(bisikan Akal), khotirunnufs(bisikan nafsu), khotirussyaiton(bisikan syaithon). Ada kecenderungan orang bisa selamat amalnya, jika dia bi$a meminimalisir ruang gerak khotir nafsu dan khotir syaithon.

Dalam Al-Quran menawarkan konsep khusu' dan sebanyak 5 kalimat khosyi'in disebut dalam Al-Quran dan diredaksikan dalam konteks yang berbeda, mengikuti korelasi (hubungan) ayat. Salah satu redaksi ayat itu berbunyi : "Wasta'inu bisshobri washolati, wainnaha lakabirotun illa 'alal khosyi'ien". Ayat ini menggambarkan betapa shalat adalah sebuah konklusi (jalan keluar) tepat untuk permasalahan umat. Artinya sholat adalah rangkaian dari tashbih, tahlil, takbir, dzikir, dan shalawat atas Nabi Muhammad Saw, serta rukuk dan sujud. Rangkaian ini semua adalah sebuah alat untuk mencapai kekhusukan, yang merupakan kesinambungan antara jasad dengan hati manusia. Dan rangkaian shalat adalah sebuah suplai makanan untuk ruh yang mendiami jasad kita. Sehingga jelaslah kesinambungan makna ayat : "innasholata tanha 'anil fahsya'i wal munkar", bahwa sholat yang khusuk mampu meminimalisir perbuatan keji dan munkar. Dengan syarat khusu',yaitu kehadiran jasad dan ruh mengesakan Allah dalam setiap rangkaian sholat.

Hati yang Berekstase

Kaum asketis ( sufi) adalah sebuah contoh kaum yang senantiasa berekstase. Ekstase berasal dari kata ecstacy yang artinya sebuah perasaan yang melayang-layang karena dorongan rasa gembira yang sangat. Sehingga dalam ejaan bahasa kita menjadi ekstase yang menyerap kata berbahasa Inggris. Sedangkan aplikasinya kaum asketis (sufi) sangat erat dengan hal ini.

Dalam sebuah buku karangan Javad Noorbach yang diterjemahkan dengan judul "psikologi sufi", menanggapi sebagian gaya hidup kaum asketis, namun di akhir analisanya ia mengambil sebuah pernyataan bahwa para sufi telah menanggalkan kebiasaan manusiawinya, sehingga sedikit lebih identik dengan sifat malaikat yang mendominasi kegiatannya dengan beribadah. Ini sebuah prestasi luar biasa dihadapan Allah Ta'ala dan Rasulnya. Sebaliknya manusia yang senantiasa mengumbar nafsunya, maka dia turun pada derajat hewan. Sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan.

Akan tetapi mereka (para kaum Asketis) tetap saja sebagai manusia, yang konon dalam hembusan nafas bisa ratusan kali melafadzkan lafdzul Jalalah. Ketika itu terjadi, coba bayangkan sedahsyat efek biologis yang dirasakan tubuhnya. Karena menurut sebagian riwayat Rasulullah pun merasakan panas dingin berhadapan dengan Malaikat Jibril. Atau unta Rasul mengalami kepayahan yang sangat disaat Rasul menerima wahyu diatas punggungnya. Itu sebuah bukti empiris (unsu nyata) betapa dzikir, ayat quran, mampu membuat pressing (tekanan) yang luar biasa terhadap jasad dan naluri manusia.

Inilah bukti kuat bahwa hati dan jasad besar kemungkinan melakukan ekstase lewat dzikir-dzikir, ayat suci, sholawat burdah, beberapa pembacaan maulid dan lainnya. Kesemuanya akan dirasakan ketika orang fokus dan hadir dengan seluruh organ tubuhnya tunduk, bersimpuh melafadzkan bacaan-bacaan tadi secara berulang-ulang, dan merasakan kehadiran Allah sangat dekat dengan dari kita.. Inilah fenomena khudlurul qalb (hadirnya hati) yang dikuti dengan organ-organ lain. Atau fenomena istihdlorul qalb (berusaha menghadirkan seluruh organ tubuh terutama hati) kepada sang Khaliq atau Rasulnya.

Bukti yang dapat kita lihat, ada beberapa diantara kita menangis karena tak kuat menahan daya energik dzikir itu sendiri. Banyak sekali bukti bahwa tubuh dan hati bisa bekerja secara sinergis, berirama bergerak senada dengan lafadz yang diucapkan

Masing-masing dzikir atau bacaan sangat mampu memberikan daya tarik yang berbeda-beda pada diri manusia. Artinya, karakter bacaan itu akan memberikan suatu rasa yang beda dan kondisi jiwa (psikologi manusia) yang kondusif untuk mencapai kenikmatan-kenikmatan rohani yang tidak terbantahkan. Rasullah bersabda : "Ala bidzikrillah tathmainnul quluub". Dengan berdzikir kepada Allah akan membawa pada kedamaian hati. Artinya sebelum menuju hal itu, Allah memberikan fenomena nikmatnya berekstase (mabok) dalam mengingat Allah.

Syarat Berekstase

Berekstase sebenarnya telah memberi nuansa lain dalam diri manusia. Berekstase menggambarkan sebuah perasaan hati yang kalut akan getar-getar makna dzikir, kedalaman hati bermeditase (mengkosongkan apa yang selain Allah), mematikan fungsi otak untuk sementara waktu, memfokuskan pada satu makna terdalam dari lafadz itu sendiri, tidak lebih.

Irama badan yang tergerak oleh pesona ke dalam makna tauhid. Pesona makna tauhid ini bisa diperoleh setelah dalam jiwa seseorang mampu merasa dirinya paling rendah diantara makhluk Allah. Dari benih-benih ketawadluan itu akhirnya berbuah pada sebuah energi yang mempunyai daya yang luar biasa. Ini sebuah fenomena biasa dalam berekstase, jika dia masih dalam alam sadar maka ia bisa betapa besar energi yang muncul dari akibat berdzikir. Jika kemudian dia sudah masuk alam tidak sadar akan dibuka hijab dari lubuk hatinya, melihat fenomena alam Ghaib sebatas yang Allah Kehendaki.

Berekstase merupakan olah raga jiwa yang paling efektif, artinya seseorang bisa mengatur berbagai macam gerakan olah tubuh yang dikomando oleh hati yang berdzikir. Lewat nafas, detak jantung yang berirama mininal 20 kali/menit, adalah sebuah contoh kecil teknik-teknik berekstase yang bisa diterapkan oleh semua kalangan.

Melatih Berekstase

Sebenarnya teknik ekstase sudah banyak kita ketahui di masyarakat muslim kita. Satu contoh ketika dzikir ba'da sholat, kita sering menjumpai orang tergerak badannya, mengikuti nada yang terucap disetiap mulut jama'ah sholat. Namun sebenarnya gerakan itu bukanlah fokus pembahasan teknik berekstase, melainkan hanya sebuah contoh kasus saja.

Berekstase punya dasar-dasar teknik yang bisa mengarahkan kesana. Teknik pertama adalah dzikrul jahr (dzikir dengan keras atau lembut). Teknik ini sudah memasyarakat dari kalangan santri sampai awam. Ketika seseorang memulai dengan dzikir seperti kalimat tauhid la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah).Seseorang yang melafadzkan kalimah tauhid harusnya tidak mempunyai harapan kecuali mengagungkan Asma dan Dzat Allah. Banyak orang larut dalam dzikir akan tetapi hanya sebuah gerakan mulut saja, banyak dari anggota tubuhnya tidak bisa hadir bersama apa yang dia ucapkan. Untuk itu peran dzikir jahr adalah sebuah langkah awal menuju terpusatnya seluruh anggota badan untuk larut dalam berdzikir.

Teknik kedua adalah dzikir khofi (sirr), yang merupakan olah jiwa. Kemampuan hati untuk berbisik, berbicara terhadap kenyataan yang terjadi di depan mata, mengeluh terhadap tekanan yang dirasakan oleh jasad, adalah sebagian kecil kemampuan hati dalam kesehariaannya.

Seandainya kemampuan itu diarahkan pada hal-hal ruhaniyyah, seperti berdialog berduaan dengan Allah sebagai pemilik jiwa manusia tatkala kita melakukan sholat. karena sholat adalah sebuah ritual tertinggi dalam peradaban manusia, Maka romantisme berekstase akan dirasakan hamba, seperti sabda nabi "waju'ilat qurrata'aini fisholah" Allah memberikan fantasi kenikmatan sholat pada Nabi, melebihi segala macam aktifitas yang lain . Subhanallah... aKetika romantisme dalam sholat tidak berjalan sebagaimana mestinya, artinya romantisme terputus dengan kehadiran pihak lain selain Allah, harusnya manusia cepat sadar, bahwa sholat tidak berarti lagi ketika ada unsur selain Allah dan dirinya masuk dalam ritual suci tersebut. Demikian berlanjut sampai manusia mampu meminimalkan peran-peran diluar konsentrasi badan dan jiwa kita menghadap Allah Subhanu wata'ala.

Teknik ketiga adalah memperbanyak sholat sunnah yang merupakan pemanasan untuk melatih berekstase, ketika dua unsur diatas telah menjiwai dan terterapkap pada jiwa seseorang, niscaya dalam sholat fardlunya akan mendapat kenikmatan lebih.

Ada sebuah analog, tentang teknik berekstase, Al-Maghfurlah Kyai Abdul Hamid Pasuruan, pernah menjawab tentang konsep khusuk yang ditanyakan oleh seorang peziarah, "konsep khusuk itu seperti kita perbedaan kita mengendarai becak, dengan kita mengendarai bus. Pasti bus punya kapasitas penumpang lebih banyak, begitu juga konsep khusuk, disetiap rukun jiwa dan raga bisa menyatu dalam balutan kehadiran pada Dzat Allah yang kita sembah. Artinya intensitas (jumlah) kehadiran kita lebih sering disetiap rukun sholat.".

Demikian berlanjut sampai orang merasakan konsep yang digambarkan Al-Quran dalam surah Qaff ayat 16, "walaqod kholaqnal insaana, wa na'lamu ma tuwaswisu bihi nafsuhu, wanahnu aqrobu ilaihi min hablil wariid".

Analisa tentang ayat ini berbeda-beda, berdasar atas tendensi sumber dan redaksi ayat satu dengan lainnya. Seperti pengarang Tafsir Ibnu Katsir mengartikan bahwa redaksi"nahnu" berarti malaikat Allah, yang dalam hal ini adalah Raqib dan 'Atid.

Jika melihat analisa Imam Suyuthi dan Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli mengartikan ayat itu sebagai tanda (indikasi), Allah sangatlah dekat dengan kita daripada pembuluh nadi yang ada pada leher kita.

Kemudian Imam As-Showi memperkuat indikasi itu dengan memberikan komentar bahwa : "Allah sama sekali tidak memberi penghalang antara jiwa manusia dengan Nur Rabbaniy, lebih dari itu Nur Rabbaniy itu memang bersemayam dalam jiwa manusia. Tidak ada yang menghalangi apapun akan hal ini. Maka kedekatan ini adalah sebuah jalan romantis bagi kehendak Allah berekstase (larut) dengan jiwa-jiwa sholihin yang senantiasa berdetak jantungnya melewati nikmatnya bercumbu dengan Sang Kekasih Allah Azza Wajalla. dasar dengan mengutip pernyataan Al-Imam Qusyairi yang menafsiri ayat "nahnu aqrabu ilaihi min hablil wariid", sebagai dua fenomena yang terlahir dari satu ayat.

Fenomena pertama, ayat ini menggambarkan adanya rasa Keagungan Allah sekaligus ketakutan yang meraja (khauf) seorang hamba pada Allah Azza Wajalla.

Fenomena kedua adalah rasa ketenangan, ketentraman hati, kebahagiaan yang terpancar dari jiwa seseorang hamba pada Allah Ta'ala (Raja).

Dua fenomena itu muncul dari seni interaksi hamba pada Allah Ta'ala. Sehingga Imam Qusyairi memberikan prosentase khauf dan Raja sama-sama 100 %,maka bersatulah Nyala Api Dzikir dengan Samudera Tauhid Allah yang Maha Luas dalam jiwa-jiwa kaum mukmin. * Berbagai Sumber


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.