el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Mencintai yang semestinya dicintai: Analisa kontekstual terhadap Zuhud

Kehadiran sesuatu hal dalam diri kita kadang membawa sebuah kedekatan hati pada hal itu. Namun manusia banyak yang terjebak dengan apa yang mengalir di depan matanya, di hatinya, dan di otaknya. Padahal hati diciptakan sebagai tempat bermunajat pada Allah, bukan tempat persinggahan warna-warni dunia. Karena mencintai sesuatu yang bukan tempatnya, bukanlah cinta yang diridloi-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Cinta dunia adalah biang segala kesalahan "(HR. Thabrani)

Makna eksplisit dari redaksi hadits di atas menjelaskan bahwa semua kesalahan anak manusia bermuara dari cinta dunia yang bersemayam dalam hati. Sebab, bila diteliti ternyata perasaan cinta itu adalah motivator utama bagi seseorang untuk berbuat maksiat. Begitupula sebaliknya, cinta kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya adalah bahan bakar untuk berbuat ketaatan, berangkat dari klasifikasi iman menjadi dua, aqli (rasional) dan athifi (emosional).

Hal ini diaktensi (dibahas) oleh hadits lain yang artinya "Cintamu terhadap sesuatu itu selalu membutakan dan membuatmu tuli". (HR. Abu Daud). Maka satu-satunya kiat untuk menghindari kesalahan adalah benci terhadap dunia, seperti dijelaskan oleh hadits di atas melewati arti implisitnya. Benci disini berarti menghapus rasa ketergantungan hati, sebagaimana cinta - merupakan antonimnya - yang berarti kecenderungan kalbu terhadap sesuatu. Ketergantungan akan dunia kiranya dapat terkelupas dari batin seseorang bila ia selalu meyakinkan dirinya tentang umur dunia yang temporal(sementara) ini dan mengingat realita kematian, serta senantiasa menganggap dirinya berada dalam kembara hidup yang tak ubahnya suatu perjalanan singkat menuju akhirat. "Anggaplah dirimu di dunia seperti orang asing atau orang yang meniti suatu jalan"m begitu sabda Rasulullah SAW.

Agaknya tamsil (permisalan) orang asing (gharib) yang dibawa oleh beliau sangatlah tepat untuk dijadikan bahan renungan, klop dengan kondisi kita sekarang ini yang jauh dari kampung halaman. Maka marilah kita posisikan negeri asing tempat kita berdomisili ini sebagai dunia, dan kampung halaman yang jauh dari mata adalah akhirat, lalu mulailah sejenak kita renungkan. Mungkin terbesit di hati sebagian bahwa konsep benci terhadap dunia di atas, tidak logis sekaligus tidak manusiawi, dengan alasan bahwa eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri di dunia ini adalah untuk berkarya, maka bagaimana bisa sinkron (nyambung) dengan perasaan benci terhadap dunia yang notabene adalah lokasi atau lahan untuk berkarya.

Namun ilusi tersebut--bila kita mau bijaksana--muncul ke permukaan pikiran sebab kesalahan interpretasi (cara memaknai) terhadap makna benci itu sendiri. Perlu dipahami, benci dunia bukan berarti melepaskan diri dari realita hidup di dalamnya, tapi berarti mencerabut ketergantungan hati darinya. Demikian pula dengan terminologi (pengertian) Zuhud yang dikenalkan oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya kepada Ibnu Abbas ra.--menurut para ulama--bukan bermakna kosongnya tangan dari dunia, namun maknanya adalah kosongnya hati darinya (khuluw al-qolbi min ad-dunya la khuluw al-yadi).

Ada sebuah hikayat. Di sebuah desa, tersebutlah seorang kyai yang hidup sangat miskin. Sehingga disebutkan bahwa hartanya hanya setengah batok kelapa. Sarana satu-satunya untuk makan, minum dan kebutuhan lainnya. Alhasil, ia adalah profil kiai yang anti dunia. Suatu hari, muridnya sowan (bertandang--Jawa-red.) kepadanya untuk pergi ke suatu tempat. Si kiai lalu berpesan kepadanya agar sesampainya ia di tujuan agar menemui gurunya yang kebetulan tinggal di sana, sekaligus meminta pesan nasihat dari mahaguru tadi spesial untuk si Kiai.

Berbekal alamat dari sang kiai, sang murid kemudian sampai ke kediaman mahaguru. Namun seribu tanda tanya membuat hatinya begitu masygul ketika ia lihat ternyata kediaman mahaguru itu adalah rumah megah, lengkap dengan asesoris yang serba "wah", ditambah dengan beberapa pelayan dengan berbagai profesi. Pemandangan yang membingungkan tidak membuat ia mundur untuk menyampaikan salam kiai batok berikut permintaan nasehat. Dengan penuh was-was ia utarakan maksud kedatangannya setelah sedikit basa-basi tentunya. Mahaguru itu lalu berpesan kepada murid itu guna menyampaikannya kepada Kiai batok agar menjauhi dunia. Sontak saja sang murid seperti ditampar sandal, hatinya bergumam, bagaimana mahaguru itu menganjurkan sang kiai yang super sederhana untuk menjauhi dunia padahal ia sendiri berlimpahan harta.

Saat ia kembali ke desanya, ia langsung menemui si Kiai dan menyampaikan pesan dari mahaguru untuknya, meski dengan perasaan tak karuan. Tapi si Kiai setelah mendengar pesan itu menangis tersedu-sedu. Lalu ia memikir teka-teki yang berada di benak muridnya, seraya berkata: "Tahukah engkau tentang guruku yang telah kau temui kemarin, walaupun ia berlimpahan dunia tapi hatinya sama sekali tidak memikirkannya, lain halnya dengan diriku yang ternyata masih selalu memikirkan batok kelapa ini".

Sebagian menyebutkan bahwa mahaguru di atas adalah Imam Abul Hasan as-Syadzili. Ada baiknya jika renungan singkat ini, di tutup dengan profil salah satu sahabat sekaligus Ahlu Bait Nabi SAW yang bernama Ali Bin Abi Tholib Karrama Allahu Wajhahu.

Suatu hari sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan RA. berkata kepada Dhiror bin Dhomroh, "Ceritakan kepadaku tentang karakter Ali". "Mohon, jangan kau memaksaku," jawab Dhiror. "Ceritakan!" tegas Muawiyah lagi. "Mohon jangan kau memaksaku," jawabnya untuk kedua kali. "Bagaimanapun kau harus ceritakan!". Lalu Dhiror berkata, "Bila memang harus aku ceritakan, maka--demi Allah--ia adalah pribadi bersahaja, sangat kuat, berkata benar, dan berlaku adil. Ilmu pengetahuan mengalir deras darinya. Benci terhadap kelap-kelip dunia, dan senang dengan suasana gelapnya malam. Ia--demi Allah--sering menangis, dan merenung, membalik telapak tangannya dan berbicara kepada dirinya sendiri. Ia senang dengan baju yang kasar, dan makanan yang sederhana. Demi Allah, Ia selalu menjawab pertanyaan kami, mengajak kami berbicara sebelum kami mulai, dan selalu datang bila kami undang. Sementara kami--demi Allah-- meski ia akrab, selalu menaruh segan kepadanya, kami tidak pernah mendahuluinya bicara. Saat ia tersenyum tak ubahnya seperti mutiara yang tersusun. Ia menghormati pakar agama, dan mencintai orang-orang miskin. Orang dzolim akan tunduk, dan orang lemah akan merasakan keadilannya. Aku bersaksi dengan nama Allah! Aku pernah melihatnya suatu saat, ketika malam menurunkan tabirnya, dan bintang-bintang mulai tertelan pekat, ia berdiri di mihrabnya sambil memegang jenggotnya, terlihat gelisah seperti orang sakit, dan menangis sedih. Aku mendengarnya berkata, "Hei Dunia, apakah engkau menuju kepadaku dan mengawasiku, menjauhlah, menjauhlah! Tipu selain aku, sebab aku sudah menceraimu tiga kali tanpa rujuk! Usiamu sebentar, kehidupanmu remeh, namun bahayamu besar! Oh, bekalku yang sedikit, padahal perjalanan yang penuh aral masih teramat jauh".

Setelah mendengarnya Muawiyah menangis tersedu-sedu. Akhirnya, marilah kita memohon kepada Pencipta dunia dan alam semesta, dengan doa yang seringkali tergulir dari lisan orang-orang saleh, "Allahummaja'al ad-dunya fi aydina wala taja'alha fi qulubina". Yang artinya, "Ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami tapi jangan Kau menjadikannya dalam hati kami".

Penulis: Makky Lazuardi
Kontributor Al-Bashiroh di Hadramaut Yaman, sedang menempuh program S-1 di Kuliah Al-Ahgaff jurusan Syariah.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.